Menanggapi kontroversi - Saya Indonesia, Saya Pancasila
Logo Saya Indonesia Saya Pancasila |
Sebuah Kontemplasi pasca Hari Kesaktian Pancasila
Kemarin, di hari
kesaktian pancasila, newsfeed instagram, facebook, dan
twitterku dibanjiri foto anak muda, yang bertuliskan "Saya Pancasila, Saya
Indonesia". Sebagai orang yang sering campaign tentang lingkungan, aku
tidak begitu heran, karena aku pun begitu sering mengajak teman-temanku untuk
mengenakan template foto yang menyiratkan pesan yang kami
bawa. Dalam bentuk acara apapun, kami sering melakukannya. Entah itu
pensuasanaan, atau memang pure campaign untuk membawa pesan
tersirat.
Jujur, walaupun aku
tidak ikut berpartisipasi pada gerakan tersebut, aku sendiri sangat senang dan
penuh keyakinan. Dibalik foto-foto ini, banyak orang yang mulai membuka dan
mengeksplor kembali lembaran-lembaran lama, yang bertuliskan makna dari
Pancasila. Aku berfikir positif, anak-anak muda ini, mulai me-refresh kembali
butiran-butiran pancasila, dan bagaimana mengamalkannya. Yaps, that's
the point of this campaign, encouraging youth to understand what it is to be
Indonesian, especially those who support Pancasila, as their fundamental
ideology through their life.
Namun ternyata, aku masih heran dengan manusia. Kampanye yang begitu positif, yang dibuat untuk mengajak kembali anak muda untuk mengerti apa artinya pancasila, bagaimana menjadikannya sebagai ideologi dasar, yang bisa menuntun generasi ini ke arah yang lebih baik, harus dikotori dengan tulisan-tulisan sinis terkait hal tersebut. Ada yang mengatakan kalimat ini Egois karena menggunakan kata "Saya" bukan menggunakan "Kita". Atau bahkan, ada yang mengatakan bahwa para netizen ini hanya demam dan ikut-ikutan trend belaka, sok nasionalis, sok bhinneka tunggal ika, sok cinta pada keberagaman. OMG, akupun mulai berfikir "Se-pesimis itu kah negara ini? Sampai-sampai aksi seperti ini harus dikritik pedas? Se-pesimis itukah kalian terhadap kami, para millennials yang terkesan amburadul, liberal, tidak perduli aturan, dsb?". Aku akan siap menjawab "Tidak!", aku pribadi masih punya mimpi untuk bangsa dan negara ini, dengan aksi-aksi kami, dengan kampanye-kampanye kami, dengan tulisan-tulisan kami, prestasi kami, yaps, aku masih se-optimis itu.
Ada juga hal yang perlu
digarisbawahi, janganlah kalian mengecam seseorang yang memulai dengan
"ikut-ikut-an" (dalam istilah positif yah), karena pada dasarnya,
manusia dibentuk dengan cara seperti itu, kan?. Kalau diingat-ingat, apa yang
kita pelajari sejak kecil juga hasil ikut-ikutan. Tidak ada salahnya
juga, kan?. Siapa yang bisa menyangka, kalau orang-orang yang awalnya
hanya ikut-ikutan relawan, bisa menjadi aktivis lingkungan, kebencanaan,
pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Karena, somehow,
dengan ia mencoba ikut-ikutan, ia mulai tertarik untuk mempelajari lebih dalam,
ia mau mencoba untuk mengerti, bahwa yang ia perjuangkan, itu benar.
So gaes, masih mau
berfikiran negatif lagi?
PS. This post
won't judge every Indonesian pessimistic. As pedestrian, I already realize,
from thousands of people, there might be several outliers which will be
breaking the law (riding their vehicles on the sidewalk), and they might come
from every religion, race, or community, but it won't judge those groups at
all, because once again, they're just ..... outliers!
Setuju! Saya belakangan masih heran kenapa sih untuk gerakan sepositif ini yg diikuti banyak pemuda masih saja dapat tanggapan negatif. Baik itu secara tatanan bahasa, ataupun dari gerakan itu sendiri yg terkesan ikut-ikutan. Hello, bukankah itu tujuan dari suatu kampanye ya? Mengaja orang-orang terdekat untuk ambil andil dalam memaknai pancasila ..... Huft
ReplyDeleteIyaaaaa :") Gue kalo kampanye tentang lingkungan kan punya banyak tujuannya, salah satunya yah itu, meng-akuisisi mereka supaya ikut ambil andil dalam suatu gerakan. Bahkan kalo pun mereka ga ngelakuin itu, at least they ever heard that, jadi bener-bener nothing to lose lah.
Delete"They are just outliers" Hahahahhahahaha
ReplyDeleteYoi, definitely!
Delete